Kamis, 21 Januari 2010

Berkembang Biak Dengan E-Life Style

Dunia kini tak lebih sebagai tempat di mana umat manusia bisa saling bersua, berbagi pesan, sentuhan pikiran, dan berhubungan dengan cepat tanpa membutuhkan waktu dan tenaga yang berlebihan. Kutub kutub pemisah jarak dan waktu, seolah sudah sedemikian dekatnya sehingga disparitas atau kesenjangan yang sebelumnya melebar kini menjadi kian sempit.
Globalisasi di bidang ekonomi adalah contoh yang bisa menggambarkan bagaimana sebuah kekuatan global bisa berdampak pada banyak aspek kehidupan. Dalam : Thriving Locally in the Global Economy (1995),Rosabeth Mass Konter menandai globalisasi ekonomi dalam empat proses berikut: mobilitas, keserentakan, pencarian jalan bebas hambatan, dan pluralisme. Kombinasi keempat proses tersebut telah membuat lintas batas antar negara dan penggunaan teknologi dilakukan hampir dalam hitungan detik.
E-life style yang terjadi dari penggunaan high technology seperti yang pernah dilansir Lester Thurow dalam The Future of Capitalism (1997) agaknya bisa menguatkan argumentasi tersebut. Saat ini, banyak kita saksikan cara hidup gaya baru berbasis teknologi yang mengubah cara berpikir dan bertindak. E-commerce, e-business, e-banking, dan term-term lain yang merefleksikan kehadiran new economy adalah sedikit gambaran bahwa aktivitas bisnis berbasis internet akan menjadi sebuah pemandangan biasa di kemudian hari.
Salah satu fenomena yang bisa membuktikan adalah banyaknya para pebisnis yang berlomba-lomba terjun di bisnis berbasis internet dan TI (teknologi informasi) atau meminjam istilah Benoit Marchal migrating to E-commerce.
Saat ini, kita sudah melihat banyak perusahaan old company yang bermigrasi ke dunia maya. Di tanah air, kita juga menyaksikan perusahaan-perusahaan melakukan hal serupa. Selain itu, banyak pula bermunculan perusahaan-perusahaan (start up) yang menggelar bisnis berbasis internet dan IT. Meski banyak yang berguguran, fakta menunjukkan bahwa ada banyak bisnis dan pebisnis yang menjadi sukses berkat IT.
Sergey Brin dan Larry Page bukan siapa-siapa saat orang-orang kaya semacam Warren Buffet, Larry Ellison, atau Donald Trumph sudah menjadi orang kaya kelas dunia. Namun sekarang mereka mampu menjadi bagian dari orang-orang terkaya dunia dengan kekayaan masing-masing US$16,6 miliar atau Rp. 152,3 triliun. Sebagaimana dilansir majalah Forbes, peringkat kekayaan kedua pendiri Google ini menduduki posisi 26 orang-orang terkaya. Hasil pikirannya tidak hanya menjadi incaran investor saham, tetapi juga menjadi magnet yang membuat orang-orang cerdas dan kreatif berebut masuk menjadi bagian dari Google Guys dengan menjadi Googler.
Tokoh fenomenal lain adalah Jack Ma yang merintis Alibaba.com dengan modal $60.000 pada Maret 1999. Meski baru mengenal internet pada tahun 1995 saat berada di Seattle, AS, kini ia sudah menjadi orang kaya baru di China dengan mesin uang bernama internet sebagai medianya. Yahoo bahkan menanamkan US$ 1 Miliar untuk ditukar dengan 40% saham Alibaba.

Di Indonesia, kita bisa melihat contoh kesuksesan Hendrik Tio dengan Bhinneka.Com, Tonton Taufik dengan Rattanland.Com, dan banyak lagi zero-to-hero yang lain.
Fakta ini memberi sedikit bukti bahwa gabungan knowledge, teknologi dan (terkadang) sedikit uang bisa mengalahkan bisnis yang dibangun dengan dana miliaran dan banyak karyawan. Tentu kita masih ingat bagaimana raja hiburan Time Warner yang berkiprah sejak tahun 1925 dengan total pendapatan $23 miliar per tahun pernah bersedia merger dengan American Online (AOL) yang baru berdiri pada tahun 1985 dengan pendapatan per tahun yang lebih sedikit, US$ 5,2 miliar.

Semacam inilah fenomena yang dimaksudkan pakar manajemen Peter Drucker dalam bukunya Post-Capitalist-Society (1994). Pada era ini, untuk mendirikan perusahaan utamanya jasa tidak lagi diperlukan modal besar dan banyak pekerja. Bermodal handphone atau notebook, bisnis bisa dilakukan hanya dengan koneksi internet.

(sumber: panduan toko online, taufik hidayat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar